Javier:
Novel di Dalam Novel (Kontrasnya Kelas Sosial)
Judul
: Javier
Penulis : Jessica Huwae
Penerbit : Bentang Pustaka
Jumlah
halaman : viii + 264 halaman + 20,5 cm
Nomor
ISBN : 978-602-291-076-3
|
Pic. Nofisha Arianti |
Javier adalah seorang penulis novel
yang prestasinya cemerlang, bukunya laris di pasaran, mendapat berbagai
penghargaan sampai tahap internasional, pun memiliki istri yang bertawa renyah,
Duma. Tapi akhir-akhir ini semua kecemerlangan itu lenyap satu-persatu.
Ditinggal istiri, dan menjadi penulis karirnya diujung tanduk karena deadline
yang menyempit, siapa yang kira? Karena terus didesak oleh editornya, Rosi,
Javier minggat ke puncak Bogor untuk mencerahkan pikirannya ditemggat deadline
yang tinggal 30 hari. Namun tentu saja ada orang yang masih menyayanginya,
Saosan. Sahabat yang menaruh hati padanya.
“Kawasan ini
pernah bergeliat walau sesaat, sebelum menjelma menjadi seperti orangtua yang
ditinggalkan anak-anaknya merantau ke tempat-tempat yang jauh. Menjadi tua dan
kesepian.” (halaman 32). Salah satu kekuatan Jessica dalam menulis
setting adalah menggambarkannya secara detail dan memakai perumpamaan. Seakan
pembaca berada tempat yang dijelaskan, seolah pembaca merasakan apa yang
diumpamakan.
“Asal mau
berusaha, hidup akan menyediakan segalanya” (halaman 49). Ucapan
kalimat ini dicetuskan oleh Ganes, seorang pria yang merasa dikhianati oleh
dunia. Ia tak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, juga
kekasihnya yang lebih memilih kawin kontrak untuk mendapatkan apa yang ia
inginkan. Yang pada akhirnya ditemukan tewas. Kini Ganes menjadi pegawai untuk
menawarkan villa kepada para pengunjung puncak. Javier merasa puas dengan villa
dan harga yang ditawarkannya. Selagi pak Tohir, pengurus villa yang
membersihkan dan menyiapkan segala sesuatunya, Javier dan Ganes makan siang
bersama dan saling bertukar cerita.
Bagian satu sampai dengan sebelas,
Jessica mengenalkan Javier serta seluk-beluk kehidupannya. Ia berasal dari
keluarga broken home, karena ibu dan ayahnya beda agama. Meski telah berusaha menerapkan
toleransi, tapi sepertinya mereka menemukan jalan buntu. Jadilah Javier tumbuh
tanpa agama, meski percaya adanya Tuhan. Pada bagian dua belas, Jessica mengenalkan
cerita di dalam cerita. Disini Javier, sebagai penulis, mulai menceritakan
karyanya. Salah satu inspirasi terbesarnya ia temukan melalui tumpukan buku,
jurnal dan surat yang ia baca di rak buku milik si empunya villa.
“Katanya,
tempat bisa membawa perubahan yang berarti. Sekarang aku mengerti megapa
Hemingway menyebut Havana sebagai tempat ynag inspiratif baginya untuk menulis”
(halaman 69). Javier merasa keputusannya singgah di puncak adalah yang paling
tepat karena ia bisa berjam-jam menulis sampai pinggangnya terasa pegal. Bagi
beberapa orang mungkin tempat adalah elemen penting dalam proses menulis, tapi
bagi saya tidak begitu. Saya sering bilang, “waktunya kurang pas”, atau
“tempatnya gak asik”. Namun kadang ide muncul dimana saja dan kapan saja, yang
harus dilawan adalah rasa malas.
Javier adalah sosok pria yang cukup
lihai memelihara perasaannya dan memendam rapat-rapat memorinya. “Jangan khawatir, Javier. Kamu orang baik. Kamu
pasti akan segera menemukan orang yang sungguh-sungguh mengerti dirimu.
Keadaanmu. Maafkan aku, ya.” (halaman 72). Potongan ini terjadi saat
Duma membawa koper dan kamera SLRnya untuk meninggalkan rumah mungilnya bersama
Javier. Pertemuannya dengan Duma dikisahkan sebagai cinta pandangan pertama.
Mungkin cerita macam ini sudah banyak, tapi Jessica meramunya dengan cerdik. Di
beberapa kalimat yang Javier ucapkan, si tokoh sendiri seakan tidak percaya
akan adanya cinta pandangan pertama, tapi memang itulah yang terjadi kepadanya.
“Pada dasarnya,
usia memang tidak bisa membohongi pengalaman. Saat kau masih hijau, kau
cenderung mengungkapkan dan menampakkan isi hatimu begitu jelas kepada semua
orang. Itu sebabnya kau melakukan banyak kesalahan.” (halaman 94).
Di beberapa bagian, penulis menggunakan kata ganti “kau”. Menurut saya, hal ini
mengakibatkan kesan menggurui terhadap pembaca. Seperti pada potongan halaman
94, ketika Javier tiba-tiba bertemu Tanaya. Gadis berusia di awal dua puluhan,
yang ternyata gadis pemilik villa. Ia tipe gadis kota besar yang manja dan
meledak-ledak. Awalnya Javier merasa risih karena Tanaya tak jarang
mengganggunya saat menulis. Namun akhirnya ia paham bahwa ia gadis yang
kesepian yang sedang mencari perhatian.
“Untuk menerima
kenyataan bahwa dunia adalah tempat yang dingin dan kejam. Saat kami berpikir
telah merderka dari kewajiban mengerjakan tugas dan membaca buku-buku kuliah, saat
itulah sebenarnya kepolosan dan kebebasan kami terenggut” (halaman
97). Argumen ini dikemukakan oleh Javier saat mengbrol dengan Tanaya. Sebagai
pembaca yang baru sidang skripsi, saya juga merasakannya. Membaca bagian ini
seperti ada cermin tak kasat mata.
“Walau kekuatan
gravitasi telah mengkhianatinya, aku melihat tubuh tegapnya masih merekam
kekuatan dan kejayaan pria itu pada masa muda. Aku mengira-ngira seperti apakah
Tanaya akan menjalani hidup setelah mengetahui sejarah yang dipercayainya selama
bertahun-tahun ternyata adalah rekaan yang diciptakan baginya”
(halaman 235). Pada bagian ini, telah terjadi sesuatu yang besar bagi Tanaya.
Akhirnya ia mengetahui bahwa ayah dan ibunya bukan meninggal karena kecelakaan,
tapi lebih dari itu. Padma dan Bernadus Tirto, yang akhirnya mengganti nama dan
identitasnya menjadi Yogi Tirta adalah pasangan yang dipisahkan karena srata
sosial. Padma seorang anak jenderal Usman Abidin, yang tak lain adalah kakek
Tanaya, tidak ingin memiliki menantu seorang bawahannya, yaitu Bernadus.
Walaupun Padma telah hamil, ia malah dinikahi dengan seseorang yang tak pernah
dikenalnya, seorang pengusaha kayu.
Berbagai usaha telah dilalui oleh
kedua anak muda itu, termasuk Bernadus meninggalkan kesatuannya sebagai
prajurit TNI. Ia memilih menjadi pribadi yang baru, yang akhirnya menjadi
pengusaha. Namun Padma seolah tidak tahan dengan semua keotoriteran Usman
Abidin, ia merasa dibuang. Saat Padma tinggal di rumah budenya di villa yang
ditempati Javier sekarang, ia memutuskan mengakhiri hidupnya dengan cara yang
mengenaskan. Gantung diri. Selama hidup ia terus menulis surat dan tentang
kehidupannya bersama Tanaya, yang tak pernah sampai kepada tangan Bernadus.
Setelah perjalanan panjang yang
dilaluinya, akhirnya Javier menepati deadline nya kepada Rosi. Dan Saosa,
sahabatnya yang selalu memberi dukungan, kini menjadi kekasihnya. Javier kini
membuktikan kepada Herman Harahap, kritikus sastra yang sering mencemoohnya
lewat tulisan. Tiba-tiba Duma, mantan instrinya itu, menelpon untuk mengundanya
ke acara pameran yang akan ia selenggarakan. Ya, sekarang mimpinya menjadi
fotografer sudah terwujud.
“Kita bisa melakukan
ini sekali lagi, Javier. Kita berdua, aku dan kamu”
Aku tidak berkunjung
berkata apa-apa dan hanya menatap sepasang mata bening yang penuh harap itu,
lama sekali (halaman 257). Ending ceritanya terasa
menggantung, tapi saya tipe pembaca yang lebih suka jenis ini. Karena pembaca
bisa bebas menentukan seperti apa akhirnya. Dan saya memutuskan Javier menolak
Duma, karena sebelumnya ia mengatakan, “memberiku
pilihan tepat pada saat aku telah membuat pilihan”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa penulis menuangkan dua ide
certia dalam satu novel, dengan tema yang sama. Cinta yang dipisahkan oleh
kelas sosial. Bedanya, Padma dan Bernadus pada masa-masa rusuh di Indonesia,
terdapat beberapa potongan terjadinya kerusuhan. Sedangkan Javier dan Duma
adalah kisah masa kini, dimana semua orang bebas menentukan pilihan dan
pendapat. Tetapi makna bebas bukan berarti dapat melepas semaunya, dan menarik
sekenanya. Kelas sosial ini bisa jadi disebabkan oleh adanya akibat kolonialisme,
seperti yang telah saya review di
novel Cinta di Dalam Gelas.