Judul
: Padang Bulan
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Jumlah
halaman : xii + 254 halaman; 20,5 cm
Nomor
ISBN : 978-602-8811-09-5
Novel pertama dwilogi Padang Bulan
menggambarkan betapa dekatnya hubungan antara mimpi dan kenyataan. Salah satu
ciri khas Andrea Hirata adalah tokoh utama yang memiliki mimpi luar biasa.
Sudut pandang pada mozaik 1 dan mozaik2 penulis
menggunakan sudut pandang orang ketiga. Sedangkan mozaik 4 menetapkan
sudut pandang orang pertma, yaitu Enong. Dimulai dari mozaik 5 penulis
menerapkan sudut pandang orang pertama, yaitu Ikal. Dalam novel ini, Enong,
gadis berumur 14 tahun menjadi pusatnya. Pada awal cerita, penulis menampakkan
keluarga pendulang timah yang bahagia, terdiri dari Zamzami, Syalimah, Enong
dan dua adiknya. Masalah timbul ketika Zamzami, sang kepala keluarga berniat
memberikan kejutan pada istrinya, Syalimah.
“Aih, janganlah begitu, Pak Cik. Kita
ini orang miskin. Orang miskin tak kenal kejutan” (halaman 1). Ucapan Syalimah
mengindikasikan persepsi yang ia miliki bahwa hanya orang kaya yang berhak
untuk mendapatkan kejutan. Dalam hal ini, ada persamaan karakter dengan seorang
tokoh dalam cerpen Tai Lalat karya Pramoedya Ananta Toer. “Memang bukan
kemerdekaan bagi orang-orang seperti kami, karena kami hanya batu-batu kerikil
buat fondasi kemerdekaan”. Terasa kental dampak kolonialisme di Indonesia
karena jajahan Jepang dan Belanda.
Setelah Zamzami meninggal karena
tertimbun tanah saat mendulang timah, kehidupan keluarganya seketika lumpuh.
Hal ini disebabkan karena hanya Zamzami yang mencari nafkah. Pada akhirnya,
Enong yang sedang giat-giatnya belajar bahasa Inggris terpaksa harus berhenti
sekolah demi keberlangsungan hidup keluarganya. Setelah merantau ke Tanjong
Pandan, lebih perih lagi karena tak satupun toko atau warung yang
memperkenankannya untuk bekerja dengan berbagai alasan. Dari kejadian tersebut,
menyadarkan pembaca akan pentingnya kesataraan gender antara laki-laki dan
perempuan. Dewasa ini, tidak hanya kaum adam yang bertugas untuk mencari
rezeki, tapi juga perempuan. Sebagian besar pendukung teori feminisme
memperhatikan dengan antusiasme tinggi pentingnya kesetaraan antara kaum pria dan
wanita dalam bidang sosial, politik dan ekonomi (Musthafa, 2008: 85).
Sepanjang sejarah orang Melayu,
barulah Enong yang menjadi pendulang pertama perempuan. Walaupun ada seribu
bahaya yang bisa ia dapatkan, tapi gadis kecil itu tetap mengabdi untuk kelurganya,
ibu dan kedua adik perempuannya. Enong yang masih belia, tak mengerti
perhitungan timah, menurut saja pada si tukang takar. Padahal tak jarang ia
mengurangi timbangannya. Selain itu ada sekelompok pria yang pernah
mengejar-ejar Enong dengan sejumlah anjing pula, membuat Enong trauma jika
mendengar salakan anjing. Namun hal itu semua terbayarkan lunas saat mereka
berhadapan di arena percaturan (kisah selengkapnya di novel kedua dwilogi
Padang Bulan). Sejak kelas 4 sekolah dasar, ia memiliki rasa yang aneh terhadap
teman sekelasnya, Ilham. Namun teramat perih dan terlambat bagi Enong, yang
mulai beranjak dewasa bahwa Ilham sudah memiliki istri dan anak yang lucu, saat
mereka bersua di pasar disuatu hari.
“Ayah juara satu seluruh dunia. Kini
ia harus ku tentang. Keadaan ini benar-benar menghancurkanku” (halaman 47).
Selain permasalahan Enong, penulis juga memunculkan konflik antara Ikal, ayah,
dan A Ling. Seperti yang telah diceritakan pada tetralogi Laskar Pelangi, kisah
cinta Ikal dan A Ling bermula dari mereka masih duduk di sekolah dasar. Tanpa
pernah ada perempuan lain yang bisa memikat Ikal, kini ayahnya menentang
keberlanjutan hubungan mereka. Permasalahan pun kian memanas ketika sahabat
Ikal, detektif M. Nur, memberi kabar bahwa A Ling tengah dekat dengan Zinar.
Pada mozaik 20, antara Enong dan Ikal
bertemu di kantor pos. Ketika Ikal mulai menyerah dengan kisah cintanya yang
tragis, dan hendak melayangkan lamaran pekerjaan ke ibu kota. “Jika kau terjun,
terjunlah kau sendiri” (halaman 113). Dua kalimat itu, walaupun pendek, membuka
mata pembaca bahwa betapapun memiliki keluarga yang lengkap, sahabat yang
setia, tetap saja pada akhirnya kita memilih jalan sendiri-sendiri. Ide gila
Ikal muncul dengan membatalkan keberangkatannya ke Jakarta: ia ingin melawan
Zinar dengan bertarung catur di acara rutin Agustus tiap tahunnya. “Jadi, kau
pikir hanya karena kau punya kawan seorang guru catur di negeri antah-berantah
sana, lalu kau bisa main catur? Kutaksir, ijazah-ijazahmu ini banyak yang
palsu, Bujang” (halaman 148). Meskipun ibunda Ikal tampak kesal, namun penulis
menyisipkan rasa humor di dalamnya, sekaligus ironi.
Walaupun Enong sudah lama berhenti
sekolah, minatnya terhadap bahasa Inggris tak pernah pudar. Kamus pemberian
ayahnya selalu ia bawa, pun saat ia mendulang timah. Bahkan ia rajin bertukar
kabar dengan sahabat penanya, Minarni berasal dari Jawa. Meskipun Enong sangat
menyukai bahasa asing itu, ia tidak pernah melupakan atau mengesampingkan
bahasa ibunya. Maka dari itu, Enong dapat menghindari mimikri atau cara meniru
budaya orang asing (Rosidi, 1965).
“Dunia ini rupanya penuh dengan orang
yang kita inginkan, tapi tak menginginkan kita, dan sebaliknya” (halaman 202).
Ungkapan Ikal yang sedang patah hati memang terdengar syahdu. Ikal yang
mencintai A Ling, Bu Indri yang menaruh hati pada Ikal, A Ling yang entah
kemana tak ada kabar, mungkin hubungannya semakin dekat dengan Zinar. Ketika
Ikal memberi tanda bahwa ia pernah akan ‘bunuh diri’ karena cinta, pada bagian
ini menjadi teka-teki bagi pembaca. Percobaan bunuh diri macam apakah yang
dilakukan oleh Ikal, lelaki yang menamatkan kuliah magisternya di tanah Eropa.
Sebagai reviewer, saya berasumsi bahwa
novel ini layak dibaca oleh remaja, dewasa dan orang tua. Panggilan “Boi”,
“Bujang” adalah kelebihan tersendiri bagi Andrea Hirata karena ia meletakkan
budaya Melayu di dalamnya. Namun menurut saya kisah cinta Ikal dan A Ling lebih
menonjol daripada kisah Enong sendiri.
Referensi
Musthafa, Bachrudin.
(2008). Teori dan Praktik Sastra dalam Penelitian
dan Pengajaran. Jakarta: PT. Cahaya Insan Sejahtera.
Rosidi, Ayip. (1965). Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir?
Jakarta: Bharata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar